HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

100.000 Bayi Gaza Menuju Kematian: Kelaparan Menggila, Bantuan Terhenti!

100.000 Bayi Gaza Menuju Kematian
100.000 Bayi Gaza Menuju Kematian

Lebih dari 100.000 anak balita di Jalur Gaza, termasuk puluhan ribu bayi baru lahir, kini berada dalam kondisi kritis. Mereka tak lagi sekadar kekurangan makanan—mereka terancam mati pelan-pelan akibat kelaparan, dalam krisis kemanusiaan yang kini digambarkan oleh banyak pihak sebagai “kelaparan buatan manusia terbesar abad ini”.

Laporan dari Qatar News Agency (QNA) dan Republika.co.id menyebutkan bahwa kelaparan akut telah melanda berbagai wilayah di Gaza sejak blokade total diberlakukan oleh Israel pada awal Maret 2025. Lebih dari 127 orang—mayoritas anak-anak—telah meninggal dunia akibat kelaparan, dan sekitar 470.000 warga kini dalam kategori catastrophic food insecurity (fase 5 menurut IPC).

Data ini diperkuat oleh Integrated Food Security Phase Classification (IPC) yang menetapkan sebagian besar wilayah utara Gaza berada pada ambang kelaparan total sejak awal tahun, dengan laporan kondisi makin memburuk pasca serangan intensif Israel ke Rafah dan Deir al-Balah.

“Ini bukan bencana alam. Ini hasil dari keputusan politik dan militer yang secara sistematis menghalangi akses pangan,” kata Arif Husain, Kepala Ekonom dari World Food Programme (WFP).

Penyebab Krisis: Blokade, Serangan, dan Gagalnya Distribusi Bantuan

1. Blokade Total dan Penghancuran Infrastruktur

Sejak 7 Maret 2025, Israel menutup semua jalur masuk utama ke Gaza, termasuk perbatasan Rafah (Mesir) dan Kerem Shalom (Israel). Alasan utamanya adalah alasan keamanan dan dugaan penyelundupan senjata ke wilayah Gaza oleh Hamas.

Namun, blokade ini menghentikan seluruh pasokan bahan pangan, bahan bakar, air bersih, dan obat-obatan, termasuk vaksin untuk bayi. Lebih dari 80% lahan pertanian di Gaza telah hancur, dan lebih dari 36 rumah sakit tidak berfungsi akibat kekurangan bahan bakar dan kerusakan infrastruktur (sumber: Médecins Sans Frontières, WHO).

2. Gangguan Distribusi dan Sistem “Tactical Pause”

Meski Israel telah mengumumkan “tactical pause”—jeda harian pukul 10.00–20.00 untuk masuknya bantuan kemanusiaan—kondisi di lapangan jauh dari ideal. Konvoi seringkali tertahan berhari-hari karena persyaratan inspeksi ketat, risiko penembakan, dan kerusakan jalan.

“Setiap jam keterlambatan distribusi bisa berarti nyawa bayi yang tak tertolong,” ujar Philippe Lazzarini, Komisaris Jenderal UNRWA.

Anak-anak Jadi Korban Utama

Menurut laporan UNICEF, bayi yang lahir dalam kondisi kekurangan gizi memiliki risiko kematian tiga kali lebih tinggi dibanding bayi sehat. Di Gaza, lebih dari 40.000 bayi lahir sejak Oktober 2023 dalam situasi tanpa akses air steril, susu formula, atau layanan imunisasi.

Selain itu, tingkat stunting dan wasting (kekurangan berat badan akut) melonjak lebih dari 70% di beberapa kamp pengungsian. Bayi yang selamat dari kelaparan diprediksi akan mengalami dampak perkembangan otak jangka panjang.

Perspektif Humanitarian: Di Mana Dunia?

Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, menyebut situasi ini sebagai “panggung horor” dan mendesak penghentian segera blokade untuk alasan kemanusiaan. Namun resolusi gencatan senjata yang diajukan ke Dewan Keamanan PBB terus diveto oleh negara-negara besar, terutama Amerika Serikat.

“Gaza telah menjadi kuburan moral dunia,” tulis editorial The Guardian.

Media dan Kesaksian dari Lapangan

Jurnalis lokal seperti Bashar Taleb dan Khalil Alkahlut kini menjadi simbol perlawanan diam: mereka tetap meliput meski tubuh mereka sendiri kekurangan gizi. Laporan investigatif TIME Magazine menunjukkan bagaimana mereka kehilangan puluhan kilogram, namun tetap menyalurkan berita dari dalam zona perang.

Rekaman video dari UNICEF menunjukkan bayi-bayi kurus kering menangis lemah di klinik darurat. Banyak di antaranya hanya ditangani dengan air gula karena tak ada lagi susu formula tersisa.

Reaksi Global: Dari Demonstrasi Hingga Diam yang Mematikan

Ratusan ribu orang turun ke jalan di kota-kota besar dunia, dari London hingga Jakarta. Namun aksi massa ini belum mampu menekan negara-negara besar untuk mengambil langkah konkret. Mesir dan Yordania sudah lama menyerukan koridor kemanusiaan permanen, namun belum ada kesepakatan multilateral.

Organisasi kemanusiaan seperti Doctors Without Borders, ICRC, dan UNICEF terus memperingatkan bahwa "setiap jam berarti kematian"—namun jumlah truk bantuan yang masuk ke Gaza kurang dari 10% dari jumlah minimum harian sebelum perang.

Krisis kelaparan di Gaza bukan sekadar bencana kemanusiaan biasa. Ini adalah konsekuensi kebijakan militer yang dipadukan dengan pembiaran politik internasional, menciptakan situasi yang digambarkan oleh WFP sebagai "kelaparan paling terdokumentasi dan paling bisa dicegah dalam sejarah modern".

Dengan lebih dari 100.000 bayi dalam bahaya, dunia kini dihadapkan pada pilihan moral: menghentikan kelaparan buatan ini sekarang, atau menjadi saksi diam dari tragedi yang akan tercatat dalam sejarah sebagai kegagalan terbesar kemanusiaan abad ke‑21.

Posting Komentar
Tutup Iklan