Bung Karno Temukan Makam Imam Bukhari yang Hilang Selama Ratusan Tahun! Ini Kisahnya
![]() |
Bung Karno Temukan Makam Imam Bukhari |
Banyak orang mengenang Presiden Soekarno sebagai orator ulung, pendiri bangsa, sekaligus tokoh kunci dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
Namun, hanya segelintir yang tahu bahwa ia juga berperan dalam mengungkap kembali salah satu situs paling penting dalam sejarah peradaban Islam: makam Imam Bukhari, perawi hadis paling dihormati dalam tradisi Sunni.
Kisah ini tidak hanya memperlihatkan ketajaman diplomasi Bung Karno, tetapi juga mencerminkan keberanian dan kecintaannya terhadap warisan intelektual Islam.
Di tengah ketegangan Perang Dingin dan hegemoni blok-blok kekuatan dunia, Soekarno melangkah lebih jauh: ia tidak hanya bicara soal ekonomi, militer, atau ideologi, melainkan juga soal spiritualitas dan kehormatan sejarah Islam.
Konteks Sejarah: Kunjungan Bersejarah ke Uni Soviet
Tahun 1955 adalah titik balik penting dalam politik luar negeri Indonesia. Lewat Konferensi Asia-Afrika di Bandung, Soekarno menunjukkan bahwa Indonesia ingin menjadi kekuatan yang netral dan independen.
Dalam semangat tersebut, ia menerima undangan untuk berkunjung ke Uni Soviet pada pertengahan 1956, sebagai bentuk balasan diplomatik terhadap hubungan bilateral yang semakin erat.
Uni Soviet saat itu berada di bawah kendali Nikita Khrushchev, pasca era Stalinisme yang keras. Negara tersebut dikenal sebagai rezim ateis, dengan pembatasan ketat terhadap agama.
Namun, di tengah kebekuan itu, Bung Karno membuat satu permintaan mengejutkan: ia ingin berziarah ke makam Imam Bukhari.
Permintaan tersebut bukan permintaan sembarangan. Makam sang perawi hadis sahih paling terpercaya itu selama berabad-abad hilang dari pengetahuan publik.
Bahkan banyak ulama dunia tak tahu pasti di mana jasad Imam Bukhari dimakamkan. Sebagian meyakini ia berada di sekitar Samarkand, namun posisinya tetap misterius.
Diplomasi Tak Biasa: Ziarah sebagai Syarat Kunjungan
Soekarno tidak hanya meminta, tetapi mensyaratkan kunjungan ke makam tersebut sebagai bagian dari protokol kunjungan kenegaraan. Uni Soviet pun terdesak untuk mencarinya. Maka dimulailah operasi khusus oleh aparat intelijen dan arkeolog Soviet.
Mereka akhirnya menemukan lokasi makam Imam Bukhari di sebuah desa terpencil dekat Samarkand, Uzbekistan.
Kompleks itu kala itu tak terawat, tersembunyi di balik semak belukar, dan nyaris terlupakan sejarah.
Namun karena tekanan dari Presiden Soekarno, area tersebut dibersihkan dan dipugar secara mendadak agar layak dikunjungi pemimpin Indonesia.
Tindakan ini memperlihatkan satu hal penting: betapa kuatnya pengaruh Soekarno hingga mampu membuat negara superpower seperti Uni Soviet mengangkat kembali sejarah Islam yang sebelumnya sengaja ditekan.
Momen Ziarah: Di Antara Doa dan Sejarah
Ketika tiba di lokasi makam, Soekarno tidak tampil sebagai politisi, melainkan sebagai seorang Muslim sejati.
Ia melepas sepatunya, berjalan perlahan ke arah makam, dan melakukan ziarah penuh khidmat. Di sana, ia berdoa, salat, dan membaca ayat suci Al-Qur’an.
Saksi sejarah mencatat bahwa momen itu begitu emosional, bahkan bagi para pengawal Soviet yang menemani.
Mereka tak menyangka seorang pemimpin non-Arab begitu menghormati ulama besar Islam yang bahkan mereka sendiri abaikan selama bertahun-tahun.
Warisan Fisik: Kompleks Makam Imam Bukhari
Pasca kunjungan tersebut, pemerintah Soviet secara resmi merenovasi kompleks makam Imam Bukhari.
Area itu diperluas, ditata ulang, dan dibuka untuk umum. Kini, kompleks tersebut menjadi salah satu situs ziarah terbesar di Uzbekistan, dengan luas sekitar 10 hektare.
Ribuan umat Islam dari berbagai negara berziarah ke sana setiap tahun.
Tak hanya itu, Uzbekistan sebagai negara merdeka setelah pecahnya Uni Soviet, kini sangat membanggakan situs ini sebagai bagian dari warisan nasional dan simbol kehormatan Islam.
Semua ini bermula dari diplomasi tak biasa seorang presiden dari negeri tropis bernama Indonesia.
Peran Soekarno dalam ‘Menghidupkan’ Masjid Biru
Tak hanya makam Imam Bukhari, Soekarno juga meninggalkan jejak lain di Uni Soviet: Masjid Biru di St. Petersburg. Saat iring-iringan mobil kenegaraan melintas di depan masjid yang kala itu dijadikan gudang, Soekarno memandang kagum pada arsitektur bangunannya.
Ia pun meminta agar masjid itu difungsikan kembali sebagaimana mestinya.
Permintaan tersebut sempat membuat panik para pejabat lokal Soviet. Namun karena tekanan diplomatik dari Indonesia, dan demi menjaga hubungan bilateral, akhirnya pemerintah Soviet membuka kembali Masjid Biru sebagai tempat ibadah umat Islam di kota tersebut.
Sampai hari ini, komunitas Muslim Rusia masih menyebut Masjid Biru itu sebagai “Masjid Soekarno,” sebagai bentuk penghormatan atas jasanya dalam mengembalikan fungsi sakral bangunan tersebut.
Kesan dari Tokoh Nasional dan Ulama
Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin dalam kunjungannya ke Uzbekistan pada 2022 menyatakan, "Jika bukan karena Presiden Soekarno, mungkin makam Imam Bukhari tidak akan pernah kita kunjungi hari ini."
Ia menegaskan bahwa langkah Soekarno merupakan bagian dari kontribusi Indonesia dalam sejarah Islam global.
Beberapa ulama Timur Tengah juga mengakui peran Soekarno, bahkan menyebutnya sebagai “pelindung intelektual Islam” dari negara non-Arab.
Makna yang Lebih Dalam: Islam dan Nasionalisme Tak Terpisahkan
Banyak yang melihat langkah Soekarno itu bukan semata pencitraan. Justru, itu adalah bagian dari karakter uniknya sebagai pemimpin yang mampu menyatukan nasionalisme, spiritualitas, dan internasionalisme dalam satu napas.
Bung Karno menyadari bahwa menjadi pemimpin bangsa Muslim terbesar di dunia berarti juga membawa tanggung jawab untuk menjaga warisan Islam.
Ia bukan ulama, bukan pula hafiz, tapi ia menunjukkan keberpihakan pada nilai-nilai Islam melalui cara yang paling nyata: diplomasi.
Penutup: Warisan yang Terus Hidup
Hari ini, ketika umat Islam dari berbagai negara berziarah ke makam Imam Bukhari yang megah di Samarkand, mungkin tidak semua tahu bahwa ada andil besar dari seorang tokoh Indonesia dalam proses penemuan dan pemugarannya.
Bung Karno tidak hanya meninggalkan jejak di Indonesia. Ia meninggalkan jejak di dunia Islam, di tanah Uni Soviet yang ateis, di jantung Asia Tengah, di lorong sejarah yang nyaris terlupakan.
Ia menunjukkan bahwa diplomasi bukan sekadar tentang minyak, senjata, atau aliansi militer.
Diplomasi bisa menyentuh langit—bahkan membuka jalan bagi jutaan Muslim untuk kembali mengenal dan menghormati para pewaris ilmunya.
“Kita bangsa yang besar bukan karena jumlah kita, tapi karena keberanian kita menghargai sejarah dan iman kita.”
— Bung Karno