Dari Ibu Negara ke Calon Legislatif Jepang: Narasi Hidup Dewi Soekarno yang Tak Pernah Usai
![]() |
Naoko Nemoto atau Ratna Sari Dewi |
Perjalanan hidup Dewi Soekarno, atau yang memiliki nama asli Naoko Nemoto, adalah potret kehidupan yang luar biasa: dari seorang perempuan muda di Tokyo yang bekerja sebagai entertainer, menjadi istri Presiden pertama Republik Indonesia, lalu akhirnya kembali ke tanah kelahirannya dengan ambisi baru—menjadi anggota parlemen di Jepang.
Langkah terbarunya ini menjadi sorotan hangat. Ia secara resmi melepaskan status kewarganegaraan Indonesia yang telah dipegangnya lebih dari 60 tahun.
Tujuannya? Maju sebagai calon anggota legislatif di Jepang lewat partai politik baru yang ia dirikan sendiri. Sebuah keputusan yang tidak hanya menarik perhatian media Jepang, tetapi juga memantik diskusi publik di Indonesia.
Dari Naoko ke Ratna Sari Dewi
Naoko Nemoto lahir di Tokyo, Jepang, pada tahun 1940. Di masa mudanya, ia dikenal sebagai sosok yang penuh pesona dan percaya diri. Pada usia 19 tahun, ia bertemu dengan Presiden Soekarno yang saat itu sedang dalam kunjungan kenegaraan ke Jepang.
Pertemuan tersebut kemudian berlanjut ke hubungan romantis, dan akhirnya pernikahan.
Setelah resmi menikah dengan Presiden Soekarno pada 1962, Naoko Nemoto mengganti namanya menjadi Ratna Sari Dewi Soekarno.
Ia bukan hanya menjadi bagian dari lingkar dalam kekuasaan Indonesia, tetapi juga menjadi simbol dari diplomasi dan citra glamor Indonesia di mata dunia internasional.
Dewi, sebagai ibu negara, kerap mewakili Indonesia dalam acara internasional. Ia muncul dalam berbagai media dengan gaya berbusana elegan, dan menjadi ikon tersendiri di panggung dunia.
Namun, di balik semua itu, posisinya juga tidak lepas dari kontroversi.
Sebagai istri muda presiden yang memiliki banyak istri, posisinya sering menjadi sorotan tajam, baik dari kalangan politik maupun sosial di dalam negeri.
Setelah Soekarno Jatuh
Kehidupan Dewi Soekarno berubah drastis setelah Soekarno dilengserkan dari kekuasaan pada 1967. Saat sang suami wafat pada tahun 1970, Dewi memilih untuk meninggalkan Indonesia. Ia menetap di berbagai negara, seperti Prancis, Swiss, dan Amerika Serikat.
Selama lebih dari tiga dekade, ia menjalani kehidupan sebagai sosialita dan pengusaha, bahkan sempat terlibat dalam dunia hiburan dan media.
Meski tak lagi menetap di Indonesia, Dewi tetap memegang status sebagai warga negara Indonesia.
Ia tetap terdaftar sebagai pemilih aktif di kedutaan besar Indonesia di Tokyo, dan beberapa kali menyatakan bahwa ia mencintai Indonesia serta menghormati warisan Presiden Soekarno.
Namun, semuanya berubah pada tahun 2025.
Kembali ke Jepang: Identitas dan Ambisi Baru
Pada Februari 2025, Dewi Soekarno secara resmi melepaskan status kewarganegaraan Indonesia dan kembali menjadi warga negara Jepang. Keputusan ini mengejutkan banyak pihak.
Tak sedikit yang menilai langkah itu sebagai bentuk ‘pengkhianatan’ terhadap warisan Soekarno, namun banyak pula yang memahami langkah tersebut sebagai pilihan realistis demi ambisi politik yang lebih luas.
Mengapa Dewi harus melepas kewarganegaraan Indonesia? Jawabannya sederhana: aturan di Jepang tidak memperbolehkan seseorang berkewarganegaraan ganda, dan hanya WN Jepang yang boleh mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Maka, jika Dewi ingin masuk ke arena politik Jepang, ia harus memilih—dan ia memilih tanah kelahirannya.
Heiwa 12 Party: Suara untuk Kesejahteraan Hewan
Dewi Soekarno tidak hanya kembali ke Jepang sebagai warga negara biasa. Ia datang dengan misi politik yang unik: membentuk partai sendiri bernama Heiwa 12 Party (Partai Perdamaian 12).
Fokus utama partai ini adalah pada isu kesejahteraan hewan, termasuk larangan konsumsi daging anjing dan kucing, serta penghapusan praktik kekerasan terhadap hewan peliharaan dan liar di Jepang.
Bagi sebagian orang, misi ini mungkin terdengar sederhana. Namun di Jepang, isu kesejahteraan hewan belum menjadi prioritas politik arus utama.
Maka, kehadiran Dewi dan partainya dianggap bisa menjadi disruptor, atau pengganggu positif dalam dinamika politik nasional.
Ia juga menyampaikan bahwa angka 12 pada nama partainya melambangkan bulan Desember—bulan penuh harapan, cinta kasih, dan kedamaian, yang identik dengan semangat Natal dan akhir tahun.
Kritik dan Pro-Kontra
Langkah Dewi nyaleg di Jepang menimbulkan reaksi beragam. Di Indonesia, sebagian netizen menyayangkan keputusannya melepas status WNI. Bagi mereka, Dewi adalah simbol sejarah Indonesia, sosok terakhir yang secara langsung terhubung dengan Soekarno.
“Bagaimana mungkin sosok sebersejarah itu memilih pergi?” kata salah satu komentar yang viral di media sosial.
Namun, di sisi lain, tidak sedikit pula yang mendukung langkahnya. Mereka melihat Dewi sebagai pribadi mandiri yang berhak menentukan jalan hidupnya sendiri.
Terlebih, misi politik yang ia bawa juga dinilai penting dan relevan di era modern.
Dalam berbagai wawancara, Dewi menjelaskan bahwa keputusannya bukan bentuk ketidaksetiaan pada Indonesia.
Justru, ia ingin menggunakan sisa hidupnya untuk menciptakan dampak yang nyata di masyarakat Jepang, khususnya dalam bidang yang belum banyak diperjuangkan oleh politisi lain: kesejahteraan makhluk hidup non-manusia.
Glamor yang Tak Pernah Padam
Meski usianya telah menginjak 85 tahun, Dewi Soekarno tetap tampil mencolok. Ia sering muncul di televisi Jepang, menghadiri acara-acara sosial, dan aktif di media sosial.
Gayanya masih glamor, penampilannya tetap elegan, dan tutur katanya tetap tajam.
Hal ini menunjukkan satu hal penting: Dewi tidak pernah benar-benar “pensiun” dari kehidupan publik. Ia selalu tahu bagaimana menjadi pusat perhatian, entah melalui busana, pernyataan, atau langkah-langkah berani seperti pencalonan legislatif ini.
Apa yang Bisa Dipelajari dari Sosok Dewi Soekarno?
Dewi adalah gambaran nyata dari perempuan yang menjalani hidup dengan caranya sendiri. Ia tidak takut mengambil keputusan besar—menikah dengan Presiden negara asing, berpindah kewarganegaraan, membangun bisnis internasional, dan kini, masuk politik di usia senja.
Kita bisa tidak setuju dengan pilihannya. Kita bisa mengkritisi langkah-langkahnya. Tapi satu hal yang tak bisa kita abaikan: ia tetap relevan.
Di usia yang sudah dianggap senja, Dewi Soekarno tetap memiliki suara, pengaruh, dan mimpi.
Di tengah dunia yang serba cepat dan mudah melupakan, Dewi menunjukkan bahwa sejarah tidak selalu tinggal di masa lalu. Ia adalah bukti hidup bahwa tokoh-tokoh sejarah juga bisa menulis bab baru dalam buku hidupnya.
Kewarganegaraan Boleh Berganti, Tapi Sejarah Tidak Pernah Terhapus
Lepas dari kontroversi soal status WNI, Dewi Soekarno tetaplah bagian dari sejarah Indonesia. Ia adalah saksi hidup dari masa keemasan Soekarno, representasi diplomasi budaya antara Jepang dan Indonesia, serta simbol perempuan yang berani memilih jalannya sendiri.
Kini, ia mencoba menulis ulang takdirnya—bukan lagi sebagai istri presiden, bukan sebagai sosialita, tapi sebagai politisi.
Apakah ia akan berhasil di panggung politik Jepang? Hanya waktu yang bisa menjawab. Tapi yang pasti, dunia akan tetap menatap setiap langkahnya, sama seperti 60 tahun lalu saat ia pertama kali masuk ke istana negara.
Note:
Artikel ini ditulis sebagai bentuk refleksi atas perjalanan hidup Dewi Soekarno yang penuh warna dan kontroversi. Bukan untuk menghakimi, melainkan untuk memahami lebih dalam bagaimana sejarah, identitas, dan pilihan hidup bisa saling bertaut dalam narasi yang kompleks dan manusiawi.